Thursday, May 20, 2010

Pemuda : Menulis, Memandu Bangsa


Peranan pemuda dalam memandu bangsa tidak perlu diragukan lagi. Banyak pemuda negeri ini yang telah menorehkan tinta emas menghiasi wajah ibu pertiwi. Salah satunya adalah WR Supratman yang mempersembahkan lagu kebangsaan “Indonesia Raya” bagi seluruh rakyat Indonesia.


Usianya yang masih seperempat abad telah mampu menghasilkan lagu nasional dengan syair dan melodi terbaik. Lagu kebangsaan itulah yang kita nyanyikan dalam acara – acara resmi negara. Mulai dari sekolah dasar (SD), upacara bendera, lagu kebanggaan “Indonesia Raya” selalu dikumandangkan.


Namun belakangan, alangkah menyedihkan ketika orang Indonesia tidak lagi menjiwai makna lagu tersebut. Tidak sedikit yang lupa dan bahkan dalam acara – acara resmi lokal maupun nasional, lagu ini seringkali terlewatkan. Pejabat negara saja bisa lupa, apalagi orang awam yang mungkin saja tidak hapal lagi. Padahal jika lagu itu dijiwai, akan terungkap pesan moral dan perjuangan secara mendalam.


“Bangunlah jiwanya Bangunlah badannya untuk Indonesia Raya”. Itulah sebagian lirik dari lagu tersebut yang terlupakan dan dilupakan. Seandainya WR Supratman masih hidup, pastilah ia marah dan menangis melihat generasi bangsa yang tak menghargai serta menjiwai warisan bangsa.


Masih banyak warisan bangsa yang dilupakan dan pada akhirnya dipatenkan/diklaim oleh negara lain. Misalnya tari pendet, motif parang batik, angklung, lagu jali – jali dan rasa sayange, dan reog Ponorogo yang dipatenkan Malaysia. Pulau – pulau terluar di Indonesia pun seperti Pulau Sipadan dan Ligitan telah beralih menjadi milik Malaysia. Tidak hanya negara jiran ini yang mematenkan warisan budaya kita.


Sialnya, elite politik selalu melontarkan semangat nasionalisme dengan berapi – api tapi ternyata itu semua hanya manis di bibir, pahit di tindakan. Karena pada kenyataannya, para elite politik lebih bangga memakai produk asing, lebih percaya dan mendengarkan nasehat – nasehat asing daripada nuraninya sendiri atau suara rakyat.,

Selain itu, kondisi bangsa saat ini berada dalam keterpurukan, terombang – ambing di atas gelombang ketidakberdayaan,. Gelombang yang menghempas perahu negeri ini datang dari dalam dan luar negeri. Dari dalam, kebijakan yang tak berpihak kepada rakyat, korupsi, ketidakadilan, merupakan tembok penghambat kemajuan bangsa. Dari luar, kepentingan politik ekonomi asing semakin nyata mencengkeram bumi pertiwi. Lihatlah, begitu jelas di depan mata kita, aset – aset negara dikuasai pengusaha/negara asing. Produk asing juga merajai pasar domestic, apalagi dengan adanya perdagangan bebas, seperti ACFTA yang sudah resmi berjalan sejak Januari 2010.


Sementara berjuta rakyat hidup dalam belenggu kemiskinan, pengangguran, kesengsaraan, kebodohan dan penghisapan. Hal ini terjadi karena para pemimpin tidak mau (mampu) memandu bangsa keluar dari krisis. Jika ini tetap dibiarkan, maka identitas bangsa ini semakin kabur dan mimpi mewujudkan Indonesia yang benar-benar merdeka tak akan tercapai. Untuk itu, peran pemuda sebagai generasi penerus bangsa sangat dinantikan.


Pemuda hendaknya memaknai pesan dalam nyanyian “Indonesia Raya”. Setidaknya untuk menciptakan Indonesia yang raya, maka memandu bangsa adalah hal yang mutlak dikerjakan. Memandu bangsa artinya menunjuk jalan, memimpin, menuntun, membimbing bangsa ini menuju cita –cita bersama yang tertuang dalam Pancasila dan UUD 1945.


Menuntun bangsa keluar dari krisis. Tentunya, persatuan merupakan modal dasar dan kendaraan menuju cita – cita tersebut. Karena tidak ada kekuatan yang bisa melawan rakyat yang bersatu. Terbukti, kita bisa merdeka dari kolonialisme karena semangat persatuan menjadi senjata paling ampuh mengusir penjajah.


Menulis

Dalam memandu bangsa, pemuda harus terlebih dahulu mengenali atau memahami jati diri bangsanya. Termasuk sejarah, keberagaman budaya, persoalan yang dihadapi, tantangan, dan peluang. Kemudian, pengenalan dan pemahaman tersebut akan, melahirkan kepedulian atau kegelisahan, komitmen dan tindakan. Segala potensi yang ada dalam diri pemuda hendaknya ditumpahkan melalui karya dan pengabdian. Salah satunya dengan menulis.


Sangat memprihatinkan ketika kemajuan teknologi informasi semakin pesat, namun tak beebanding lurus dengan kemajuan karya anak bangsa. Penyalahgunaan teknologi yang justru membingkai aktivitas generasi muda. Tahun 1930-an, ketika belum ada peralatan menulis yang memadai, Soekarno telah menghasilkan karya tulis luar biasa “Di Bawah Bendera Revolusi”.


Atau pada tahun 1960-an, seorang aktivis mahasiswa,Soe Hok Gie, menumpahkan kegelisahannya dalam tulisan yang dimuat di koran – koran nasional. Catatan hariannya juga akhirnya dijadikan buku “Catatan Harian Seorang Demonstran”.

lusi mengatasi persoalan tersebut. Masih banyak lagi sosok pemuda pemikir, pejuang, dan penulis seperti mereka, yang telah menginspirasi banyak orang hingga sekarang. Tidak bisa dipungkiri, bangsa ini membutuhkan pemuda demikian.


Saat ini, komputer bukanlah barang mewah, sudah bertebaran di mana – mana. Tidak ada alasan sebenarnya untuk tidak menulis. Wiji Thukul saja dalam puisinya mengatakan bahwa jika tidak ada lagi peralatan untuk menulis, maka menulis dengan (tinta) darah pun jadi.


Alangkah menyedihkan, banyak pemuda yang “mabuk” facebook. Bukan berarti bermain facebook itu salah. Melalui jejaring sosial ini juga kita bisa menulis. Itu sangat strategis untuk menyampaikan pesan moral kepada pengguna jejaring ini. Kenyataan dari pengamatan saya, kebanyakan dari mereka yang online hampir – hampir setiap hari, lebih fokus menggunakannya sebagai media bersenang – senang, mencari jodoh, bermain poker dan pencitraan diri melalui foto – foto terbaiknya. Bahkan penipuan – penipuan marak terjadi melalui facebook. Kebiasaan – kebiasaan manja, serba instan, dan menipu tak baik diteruskan.


Kita pemuda hendaknya menyadari bahwa masa depan itu milik kita dan ditentukan oleh kita. Apa yang kita kerjakan sekarang sangat menentukan hari esok. Hari esok bangsa Indonesia. Jika kita menulis dengan cinta dan nilai – nilai moral kemanusiaan, maka kita akan menuai hasilnya atau akan dan cucu kita yang menikmatinya.


Sangat memprihatinkan ketika tulisan – tulisan tentang Indonesia, lebih banyak ditulis oleh penulis – penulis Barat. Sehingga, cara pandangnya adalah sudut pandang Barat dan demi kepentingan Barat. Pemuda harus mematahkan mitos Barat yang mengatakan bahwa Indonesia adalah bangsa pemalas, bodoh dan lemah. Kita adalah bangsa yang cerdas, rajin, dan kuat. Sejarah telah membuktikannya.


Oleh karena itu, budaya menulis hendaknya tertular dalam diri masyarakat, khususnya kalangan pemuda. Era reformasi yang telah membuka ruang bagi kebebasan bersuara, jangan disia – siakn untuk mencerdaskan bangsa melalui tulisan – tulisan. Lembaga pendidikan katakanlah perguruan tinggi sebagai tempat belajar kaum – kaum intelektual muda, sangat strategis menghasilkan tulisan – tulisan pembebasan untuk memandu bangsa. Mahasiswa/pemuda harus menulis. Membaca buku, berdiskusi, dan menulis adalah menu “sehat” bagi mahasiswa.


Media cetak yang semakin menjamur telah membuka ruang bagi pemuda untuk menyampaikan gagasannya. Media lokal dan nasional seperti Harian Analisa, Medan Bisnis, Waspada, Harian Global, Seputar Indonesia, Media Indonesia, dan teman – temannya, sedang menunggu goresan pena pemikir muda. Sungguh ada kepuasaan batin ketika tulisan kita bermanfaat bagi orang lain. Lantas, tulisan seperti apa yang dikategorikan memandu bangsa?


Segala tulisan yang bertujuan menuntun, memimpin, dan mencerdaskan masyarakat adalah suluh memandu bangsa. Dengan membangkitkan semangat nasionalisme, mengkritisi kebijakan yang tidak pro-rakyat, mengawasi kinerja pemerintah, menyuarakan kebenaran dan keadilan, memberikan informasi yang akurat, dan memcerdaskan rakyat, akan menuntun bangsa dalam kejayaan.


Dengan demikian, menulis adalah salah satu cara untuk memandu bangsa. Berarti menulis adalah kegiatan yang mulia. Seperti yang diungkapkan Pramoedya, “tidak mungkin orang mencintai negeri dan bangsanya kalau orang tak mengenal kertas – kertas tentangnya, tidak mengenal sejarah tentangnya. Apalagi kalau tak pernah berbuat sesuatu kebajikan untuknya”. Marilah kita pandu bangsa dengan menulis. (lbs_234)

No comments:

Post a Comment