Monday, May 31, 2010

PEREMPUAN LEBIH BERISIKO MENGALAMI GANGGUAN JIWA RINGAN

Medan – Ketua Perhimpunan Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) Tun Kurniasih mengatakan perempuan lebih berisiko mengalami gangguan kesehatan jiwa ringan dibandingkan laki-laki.

“Perempuan yang mengalami gangguan jiwa ringan dua kali lebih banyak dari laki-laki, makanya perempuan digolongkan sebagai kelompok rentan. Tapi untuk gangguan jiwa berat seperti psikosis, rasio laki-laki dan perempuan satu disbanding satu,” katanya dalam seminar kesehatan jiwa di Jakarta, Senin (24/5).

Hasil Riset Kesehatan Dasar 2007 menunjukkan jumlah perempuan berusia lebih dari 15 tahun yang mental emosionalnya terganggu ringan sebanyak 16 %, sementara laki-laki antara 8-9 %.

Tun mengatakan, budaya yang menempatkan perempuan pada posisi sulit sehingga mereka seolah tak berdaya merupakan salah satu factor yang menyebabkan perempuan lebih rentan terganggu jiwa ringan seperti depresi dan cemas.

“Ini membuat perempuan merasa tak berdaya, perempuan jadi lemah daya tahan mentalnya dan jadi rentan melakukan aksi bunuh diri,” katanya.

Angka bunuh diri pada perempuan juga lebih tinggi dari pada laki-laki.“ Penyebab yang lain adalah perubahan biologis pada tubuh perempuan. Perubahan hormonal membuat kondisi emosional perempuan, misalnya saja pada saat hamil, setelah melahirkan serta sebelum dan selama menopause.” Kata Penanggungjawab Program Kesehatan Jiwa pada kantor Perwakilan Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) Jakarta Albert Maramis.

Gangguan jiwa ringan seperti depresi, katanya, membuat perempuan mengabaikan kondisi kesehatannya dan bayinya sehingga memperbesar resiko kematian ibu dan bayi.

Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih mengatakan penyediaan layanan konseling bagi pasangan suami istri penting untuk mencegah terjadinya masalah gangguan jiwa pada perempuan. “Pelayanan kesehatan jiwa perlu diintegrasikan dalam kegiatan pelayanan kesehatan di puskesmas dan rumah sakit, katanya.

Namun yang tak kalah penting, kata Tun, adalah penyebarluasan informasi mengenai pencegahan dan penanganan masalah kesehatan jiwa kepada masyarakat.

“Kalau masyarakat tahu maka mereka akan lebih peduli dan lebih cepat tanggap mencegah sehingga tidak sampai mengalami gangguan jiwa,” jelasnya.

PSIKIATER

Pada kesempatan itu, juga disampaikan, saat ini hanya ada sekitar 600 psikiater di Indonesia. “Resikonya dengan penduduk sekitar satu banding setengah juta. Idealnya satu banding 30 ribu,” katanya.

Tahun lalu, Badan Pusat Statistik memperkirakan ada 231 juta jiwa penduduk Indonesia. Dari jumlah tersebut, kata Tun Kurniasih Bastaman, 200 psikiater diantaranya bekerja di Jakarta dan sisanya di kota-kota besar lain seperti Medan, Surabaya dan Daerah Istimewa Yogyakarta.

“Di daerah lain sangat sedikit. Di seluruh Kalimantan saja hanya ada 11 psikiater,” katanya.

Hal itu, katanya, antara lain terjadi karena jumlah fasilitas pendidikan psikiatri memang tidak banyak. Saat ini juga terdapat Sembilan pusat pendidikan psikiatri, namun hanya enam diantaranya yang aktif. “Jumlah lulusan setiap tahun sekitar 10 orang,” ucapnya.

Selain itu, ia melanjutkan, pusat pendidikan psikiatri tidak menerima banyak peserta didik. “Lulusan sedikit bukan karena tidak ada peminat, tapi karena penerimaannya memang sedikit, jadi peminat harus antri,” ungkapnya, serta menambahkan biaya pendidikan spesialistik kedokteran yang lain.

Kondisi yang demikian tentunya mempengaruhi pelaksanaan kegiatan pelayanan kesehatan jiwa bagi masyarakat.

“Karena itu kami akan berusaha melakukan terobosan untuk meningkatkan kapasitas fasilitas pendidikan kesehatan jiwa. Ini akan dirumuskan dalam waktu dekat,” ungkap direktur Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan, Irmansyah.

Tun menyarankan pemerintah daerah memetakan kebutuhan dokter jiwa diwilayahnya serta memberikan beasiswa kepada putra daerah untuk menjalani pendidikan psikiatri guna mendukung kegiatan pelayanan kesehatan jiwa di daerah.

“Pemerintah daerah sebaiknya membuat kontrak dengan mereka dan dibiayai dalam menjalani pendidikan psikiatri agar setelah menyelesaikan pendidikan menjalankan tugas profesinya di daerah asal. Karena tidak mungkin semua bisa di penuhi pemerintah pusat,“ katanya.

No comments:

Post a Comment